Langit Biru Itu Saksinya ( CERPEN )
Seorang pemuda dengan cepat bergerak ke sana kemari, mengambil kemeja, membongkar tas bahkan sampai menjadikan almamater sebagai handuk saking paniknya. Tangannya bergerak gusar, mencari-cari dimana keberadaan kaus kebanggaan miliknya. Sesekali wajahnya yang basah melirik ke arah jam. Jarum pendek di angka 6 dan jarum panjang di angka 7. Sungguh! Rasanya Biru Januarda ingin memukul Ichan --ayam jantan pemilik kosan-- yang tampaknya kesiangan berkokok pagi ini. Selimut bergambar Teletubbies bahkan tampak kusut, lantaran pemilik kamar belum sempat membersihkan tempat tidur. Biru akan mengingat hari ini baik-baik. Tanggal 1 Oktober, Biru Januarda kesiangan bangun karena ayam tetangga telat berkokok. Padahal, aslinya semalaman dirinya begadang. Menonton sinetron India yang kebetulan membuat dirinya mengingat masa kecil sebelum merantau ke ibukota. Itu loh, yang ada orang bernyanyi di atas kereta.
'biip
'biiip
Suara klakson motor mulai terdengar dari luar kamar kosan Biru, kepala dengan rambut yang amburadul itu mendongak, mengintip lewat celah-celah jendela. Motor matic hitam yang dikendarai oleh seseorang dengan kemeja hitam dan celana jeans-nya, Biru sudah bisa menebak siapa orang itu, dilihat dari tatanan rambut yang klimis dan mata yang sipit, sudah pasti itu Yudha.
"Biruuu! Main yuu!!"
Suara Yudha membuat Biru semakin panik. Jelas Biru tau itu bukan ajakan bermain biasa, temannya pasti akan meninggalkan nya jika berani lebih lama lagi. Oh sungguh, demi aktor India favoritnya! Biru sudah lelah mencari kausnya, membuat dirinya seakan-akan mencari jarum di atas tumpukan jerami. "Nasib anak baik gini banget."
Suara sepatu terdengar di telinga Yudha, laki-laki itu melirik sinis ke arah Biru yang baru saja keluar dengan senyum sumringah. Kalau saja bukan temanya, mungkin Biru sudah di lempar oleh Yudha ke palung Mariana. "Udah selesai? Gue kira Lo mau nunggu si Ichan jadi kuda dulu."
Biru masih tersenyum, naik ke atas motor saat Yudha sudah menaikkan stang. Biru terkekeh kecil. "Gue sempet lupa dimana kaus gue, diambil Shah Rukh Khan kayaknya. 'Kan gue sibuk nonton-in dia tuh, tadi malam."
Yudha hanya memasang senyum penuh kepasrahan. Biru Januarda dan tabiatnya sudah biasa dihadapi oleh Yudha Abimana. Setidaknya, mereka akan sampai di lapangan upacara tepat 5 menit sebelum upacara di mulai. Membahas perkara Shah Rukh Khan dan kaus tidak akan selesai, lebih baik mereka bergegas. Anak muda seperti mereka tidak boleh menjadi anak bangsa pembangkang hanya karena hobi telat.
Jalanan Jakarta Timur tampak ramai pagi ini, terlebih saat kuda besi milik Yudha melewati daerah Cipayung, banyak orang-orang pemerintah yang datang untuk mengunjungi saksi bisu serangan PKI atau lebih sering disebut Lubang Buaya. Tampaknya mereka akan memberikan penghormatan dan juga memberikan doa-doa untuk para pahlawan yang telah gugur. Membayangkan mayat-mayat manusia yang ditumpuk didalam sumur saja sudah mengerikan, apalagi membayangkan bagaimana sakit dan nyerinya penyiksaan sebelum dibunuh.
Motor Yudha melaju cepat. Perlahan-lahan melambat saat mendekati area lapangan. Suara dari sound system yang terpasang di lapangan mulai terdengar, riuh suara obrolan dan juga gelak tawa mulai terdengar. Syukurlah, mereka tidak telat. Bisa jadi masalah besar kalau Biru telat, dirinya adalah pemain futsal andalan SMA Brata Wijaya. Andaikan saja, suatu tim kalah karena salah satu anggota telat. Rasanya Yudha mau mengubur diri saja.
"Lo inget kan kata nyokap?"
Biru mengangguk, kembali mengibas rambut depannya. Mencoba membuat anak gadis orang porak-poranda. Dalam hatinya, Biru berkata 'Gue kece banget' padahal aslinya tidak ada yang memperhatikan. Yudha sudah mundur kalau soal kepercayaan diri tanpa batas milik Biru. Tidak akan ada yang bisa melawan kepercayaan diri tingkat dewa milik Biru. Sudah, lebih baik berdiam diri saja.
"Jangan nyerah, karena yang menyerah cuman pecundang"
Angin sepoi-sepoi meniup halus rambut Biru yang mulai mengering, jalannya tampak menawan tapi terlihat gagah berani, tidak ada sedikitpun keraguan didalam hatinya. Hari ini, di tanah ini. Biru Januarda akan membawa kemenangan lagi untuk SMA Brata Wijaya. Karena kata bunda, hanya yang pantang menyerah yang menang.
Perlahan-lahan matahari mulai naik, jam mulai menunjuk ke arah pukul 9, upacara pembukaan lomba akan dimulai. Semua orang yang menonton tampak duduk rapih di podium. Para satpam mulai berlalu lalang, mencoba menertibkan jika ada pengunjung yang nakal dan tidak mau diatur. Biru melangkah ke arah lapangan, tangannya ia angkat saat bendera Indonesia mulai dikibarkan. Suara yang syahdu dari penonton dan juga riuh angin di pagi hari. Semuanya menjadi sempurna. Merasakan jiwa nasionalisme secara mendadak, urat nadi seakan-akan bergetar. Rasa bangga dan haru itu, hanya orang tertentu yang bisa merasakan, tidak semuanya.
Kata sambutan dari walikota menjadi pembuka pada perlombaan kali ini, Brata Wijaya mendapat nomor urut 1, tepat setelah pembukaan. Yudha melirik ke arah Biru. Laki-laki yang saat ini tengah mengatur deru nafasnya, pundaknya naik turun.
"Santai dong, kayak baru kali ini aja Lo ikut lomba."
Biru tersenyum kecut. Melirik ke arah laki-laki dengan rambut yang ujungnya disemir warna merah muda. Sepertinya Yudha mau mengubah style nya dari cowok cool jadi cowok hati Hello Kitty. Biru tersenyum pasrah. "Mau seberapa sering Lo mengijak di lapangan yang sama, kalau datangnya untuk menyambut menang siapa yang gak gemetaran? Tremor nih gue, mau dapet piala lagi."
Yudha mendadak menyesal telah bertanya. Kalau tau Biru akan narsis lagi, lebih baik Yudha menyumpal mulutnya sendiri tadi. Anggota futsal Brata Wijaya mendekat, merengkuh bahu masing-masing. Ke limanya saling menderu nafas. Mereka akan mengijak tanah yang sama. Tanah yang sebelumnya milik mereka, dan kali ini mereka akan mempertahankannya.
Yudha tersenyum tipis, memilih untuk meninggalkan bagian belakang dan naik ke atas podium, menyatu dengan rombongan berkaus putih. Di atas kaus polos itu sebuah tulisan tercetak dengan jelas 'Ibaratnya gini Wir, mau gimana pun, Brata Wijaya tetap di hati'
Sebuah spanduk besar terbentang di atas ratusan manusia. Spanduk berisi kata-kata semangat untuk pemain Brata Wijaya. Tak bisa dipungkiri, kebanyakan penonton mereka adalah perempuan, bisa dibayangkan seberapa hebat tim Brata Wijaya, sampai-sampai perempuan yang kebanyakan tak menyukai olahraga bisa mengumpul di atas tribun, menyoraki nama yang berbeda-beda tapi tetap satu tim, Brata Wijaya.
"Gue yakin Lo bisa Bir."
Suara dari peluit mulai terdengar, wasit sudah memulai permainan. Mereka akan bertarung lagi, meski sudah sering bertarung di tanah yang sama, tetap saja, rasa ragu itu tidak mudah untuk hilang.
Kaki Biru naik dengan tenang, seakan-akan dirinya terbang dan bola ada di bawah kuasanya. Hanya dengan satu tendangan, bola itu melayang lurus ke arah gawang. Poin pertama untuk Brata Wijaya. Sang lawan memasang muka tersenyum senang, berbanding terbalik dengan ekspresi yang seharusnya. Ada yang mereka rencanakan. Itu pikir Tere, pemain dengan nomor punggung 02.
Peluit kembali ditiup, Biru dengan cepat menggapai bola. Tapi matanya mendadak membola saat merasa seseorang mendorongnya dari belakang. "Biru dari Brata Wijaya! Terjatuh!"
Yudha yang duduk di podium mendadak kaget karena suara yang terdengar itu. Dirinya lantas berdiri tegak, nyaris berlari ke arah lapangan berniat untuk menghajar orang yang membuat biru terjatuh. Tere yang membantu Biru berdiri melirik pemain sebelah. "Udah gue duga mereka punya rencana busuk."
Yudha dengan tergesa-gesa berlari ke arah ruang kesehatan. Rasanya dunia seakan-akan lenyap. Bukan karena dia menjadi kaum pelangi atau apa tapi Yudha sendiri sudah menganggap Biru sebagai kembarannya.
Pintu ruang kesehatan dibuka, terlihat Biru yang tersennyum manis dengan luka yang cukup besar di kaki. Yudha melirik prihatin, dengan sigap masuk ke dalam ruangan. "Lo harus hati-hati! Udah gue bilang juga main tuh pake mata!"
Biru tertawa kecil, menaikkan alisnya. "Dimana-mana main futsal pake kaki kali"
Yudha memasang raut wajah kesal dengan jengah melempar satu botol air mineral. Dia melirik ke sana dan kemari. "Lo tau? Satu podium heboh gara-gara Lo jatuh! Hampir budeg kuping gue dengerin nya"
Biru hanya nyengir kuda melirik ke arah Yudha yang menaikkan lengan bajunya. "Mau ngapa Lo? Cosplay preman pasar?"
Yudha mendecih. "Menurut Lo? Gue ga terima temen gue dibuat jatuh sampai jalan pun susah"
Biru melirik ke arah Yudha tersenyum jengkel. Melirik ke arah laki-laki dengan badan tegap itu. "Lo tau kan kalau usaha gue masuk sini ngga main-main."
Yudha seakan-akan tuli, malah sibuk meregangkan otot-otot nya yang ia siapkan untuk memukul orang. "Lo tau? Kan? Ga usah budeg Lo"
Yudha melirik sinis. "Gue tau, dan gue ga terima Lo diginiin"
Biru melirik ke arah Yudha, mulai tersenyum tengil. "Ingat kata Dilan, kalau balas dendam itu yang menang jadi arang yang kalah jadi abu, jadi apa untungnya. Lagian Kita akan terus-menerus melihat ke atas dan bawah jalanan, kita ngga punya banyak hal. Tapi kita, dipinggir jalan ini, membawa tas penuh mimpi, jadi pasti banyak halangan nya"
Yudha tersenyum pasrah, melihat Biru. "Lo bener."
Pertandingan dilanjutkan dengan meriah, meski Biru tak ikut bermain. Kemenangan lagi-lagi jatuh di tangan Brata Wijaya. Tentu saja, meski Biru tak ikut, tim mereka kan isinya macam wakanda. "Udah gue bilang kan? Jangan balas dendam, balas pake kemenangan aja"
( Salsadillah P.Y )
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- Api Perjuangan Tak Boleh Padam
- Pro dan Kontra tentang Rokok
- Pentingnya Menjaga Kesehatan di Musim Kemarau
- Lingkungan Sehat di Musim Panas
- Mengais Rezeki Di Musim Kemarau
Kembali ke Atas